Teori Humanistik, Kritik, dan Penerapannya dalam Pembelajaran
Humanistik lebih melihat pada sisi perkembangan
kepribadian manusia. Pendekatan ini melihat kejadian yaitu bagaimana manusia
membangun dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan bertindak
positif ini yang disebut sebagai potensi manusia dan para pendidik yang
beraliran humanisme biasanya memfokuskan pengajarannya pada pembangunan
kemampuan positif ini. Kemampuan positif disini erat kaitannya dengan
pengembangan emosi positif yang terdapat dalam domain afektif. Emosi adalah
karakterisitik yang sangat kuat yang nampak dari para pendidik beraliran
humanisme.
Dalam artikel “some educational implications of the
Humanistic Psychologist” Abraham Maslow mencoba untuk mengkritisi teori Freud
dan behavioristik. Menurut Abraham, yang terpenting dalam melihat manusia
adalah potensi yang dimilikinya. Humanistik lebih melihat pada sisi
perkembangan kepribadian manusia daripada berfokus pada “ketidaknormalan” atau
“sakit” seperti yang dilihat oleh teori psikoanalisa Freud. Pendekatan ini
melihat kejadian setelah “sakit” tersebut sembuh,
yaitu bagaimana manusia membangun dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif.
Kemampuan bertindak positif ini yang disebut sebagai potensi manusia dan para
pendidik yang beraliran humanistik biasanya memfokuskan penganjarannya pada
pembangunan kemampuan positif ini.
Berbeda
dengan behaviorisme yang melihat motivasi manusia sebagai suatu usaha untuk
memenuhi kebutuhan fisiologis manuisa atau dengan freudian yang melihat
motivasi sebagai berbagai macam kebutuhan seksual, humanistik melihat perilaku
manusia sebagai campuran antara motivasi yang lebih rendah atau lebih tinggi.
Hal ini memunculkan salah satu ciri utama pendekatan humanistik, yaitu bahwa
yang dilihat adalah perilaku manusia, bukan spesies lain. Akan sangat jelas
perbedaan antara motivasi manusia dan motivasi yang dimiliki binatang. Hirarki kebutuhan motivasi
maslow menggambarkan motivasi manusia yang berkeinginan untuk bersama manusia
lain, berkompetensi, dikenali, aktualisasi diri
sekaligus juga menggambarkan motovasi dalam level yang lebih rendah seperti
kebutuhan fisiologis dan keamanan.
Humanistik tertuju pada masalah bagaimana tiap
individu dipengaruhi dan dan dibimbing oleh maksud-maksud pribadi yang mereka
hubungkan kepada pengalaman-pengalaman mereka sendiri. Teori humanisme ini
cocok untuk diterapkan pada materi-materi pembelajaran yang bersifat
pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap
fenomena sosial. Psikologi humanisme memberi perhatian atas guru sebagai
fasilitator.
A)
Tokoh-Tokoh Teori Humanistik
1.
Arthur Combs (1912-1999)
Bersama dengan Donald Snygg (1904-1967) mereka
mencurahkan banyak perhatian pada dunia pendidikan. Meaning (makna atau arti)
adalah konsep dasar yang sering digunakan.
Perasaan, persepsi, keyakinan dan maksud merupakan
perilaku-perilaku batiniah yang menyebabkan seseorang berbeda dengan yang lain.
Agar dapat memahami orang lain, seseorang harus melihat dunia orang lain
tersebut, bagaimana ia berpikir dan merasa tentang dirinya. Itulah sebabnya,
untuk mengubah perilaku orang lain, seseorang harus mengubah persepsinya.
Menurut Combs, perilaku yang keliru atau tidak baik
terjadi karena tidak adanya kesediaan seseorang melakukan apa yang seharusnya
dilakukan sebagai akibat dari adanya sesuatu yang lain, yang lebih menarik atau
memuaskan. Misalkan guru mengeluh murid-muridnya tidak berminat belajar,
sebenarnya hal itu karena murid-murid itu tidak berminat melakukan apa yang
dikehendaki oleh guru. Kalau saja guru tersebut lalu mengadakan
aktivitas-aktivitas yang lain, barangkali murid-murid akan berubah sikap dan
reaksinya (Rumini, dkk. 1993).
Sesungguhnya para ahli psikologi humanistik melihat
dua bagian belajar, yaitu diperolehnya informasi baru dan personalisasi
informasi baru tersebut. Adalah keliru jika guru berpendapat bahwa murid akan
mudah belajar kalau bahan pelajaran disusun dengan rapi dan disampaikan dengan
baik, sebab arti dan maknanya tidak melekat pada bahan pelajaran itu; murid
sendirilah yang mencerna dan menyerap arti dan makna bahan pelajaran tersebut
ke dalam dirinya. Yang menjadi masalah dalam mengajar bukanlah bagaimana bahan pelajaran
itu disampaikan, tetapi bagaimana membantu murid memetik arti dan makna yang
terkandung di dalam bahan pelajaran tersebut, yakni apabila murid dapat
mengaitkan bahan pelajaran tersebut dengan hidup dan kehidupan mereka, guru
boleh bersenang hati bahwa missinya telah berhasil.
Semakin jauh hal-hal yang terjadi di luar diri
seseorang (dunia) dari pusat lingkaran lingkaran (persepsi diri), semakin
kurang pengaruhnya terhadap seseorang. Sebaliknya, semakin dekat hal-hal
tersebut dengan pusat lingkaran, maka semakin besar pengaruhnya terhadap
seseorang dalam berperilaku. Jadi jelaslah mengapa banyak hal yang dipelajari
oleh murid segera dilupakan, karena sedikit sekali kaitannya dengan dirinya.
2.
Abraham Maslow
Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam
diri individu ada dua hal :
a. Suatu
usaha yang positif untuk berkembang
b. Kekuatan
untuk melawan atau menolak perkembangan itu.
Maslow
mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan
yang bersifat hirarkis. Pada diri masing-masing orang mempunyai berbagai
perasaan takut seperti rasa takut untuk berusaha atau berkembang, takut untuk
mengambil kesempatan, takut membahayakan apa yang sudah ia miliki dan
sebagainya, tetapi di sisi lain seseorang juga memiliki dorongan untuk lebih
maju ke arah keutuhan, keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke
arah kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan pada saat
itu
juga ia dapat menerima diri sendiri(self).
Maslow membagi kebutuhan-kebutuhan (needs) manusia
menjadi tujuh hirarki. Bila seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan pertama,
seperti kebutuhan fisiologis, barulah ia dapat menginginkan kebutuhan yang
terletak di atasnya, ialah kebutuhan mendapatkan ras aman dan seterusnya.
Hierarki kebutuhan manusia menurut Maslow ini mempunyai implikasi yang penting
yang harus diperharikan oleh guru pada waktu ia mengajar anak-anak. Ia
mengatakan bahwa perhatian dan motivasi belajar ini mungkin berkembang kalau
kebutuhan dasar si siswa belum terpenuhi.
3.
Carl Ransom Rogers
Carl Ransom Rogers (1902-1987) lahir di Oak Park,
Illinois pada tanggal 8 Januari 1902 di sebuah keluarga Protestan yang
fundamentalis. Kepindahan dari kota ke daerah pertanian diusianya yang ke-12,
membuat ia senang akan ilmu pertanian. Ia pun belajar pertanian di Universitas
Wisconsin. Setelah lulus pada tahun 1924, ia masuk ke Union Theology Seminary
di Big Apple dan selama masa studinya ia juga menjadi seorang pastor di sebuah
gereja kecil. Meskipun belajar di seminari, ia malah ikut kuliah di Teacher
College yang bertetangga dengan seminarinya.
Tahun 1927, Rogers bekerja di Institute for Child
Guindance dan mengunakan psikoanalisa Freud dalam terapinya meskipun ia sendiri
tidak menyetujui teori Freud. Pada masa ini, Rogers juga banyak dipengaruhi
oleh Otto Rank dan John Dewey yang memperkenalkan terapi klinis. Perbedaan
teori yang didapatkannya justru membuatnya menemukang benang merah yang
kemudian dipakai untuk mengembangkan teorinya kelak.
Tahun 1957, Rogers pindah ke Universitas Wisconsin
untuk mengembangkan idenya tentang psikiatri. Setelah mendapat gelar doktor,
Rogers menjadi profesor psikologi di Universitas Universitas Negeri Ohio.
Kepindahan dari lingkungan klinis ke lingkungan akademik membuat Rogers
mengembangkan metode client-centered psychotherapy. Disini dia lebih
senang menggunakan istilah klien terhadap orang yang berkonsultasi dibandingkan
memakai istilah pasien. Rogers membedakan dua tipe belajar, yaitu:
1.
Kognitif (kebermaknaan)
2.
experiential ( pengalaman atau signifikansi)
Meskipun teori yang dikemukan Rogers adalah salah
satu dari teori holistik, namun keunikan teori adalah sifat humanis yang
terkandung didalamnya. Teori humanistik Rogers pun menpunyai berbagai nama
antara lain : teori yang berpusat pada pribadi (person centered), non-directive,
klien (client-centered), teori yang berpusat pada murid (student-centered),
teori yang berpusat pada kelompok (group centered), dan person to
person. Namun istilah person centered yang sering digunakan untuk
teori Rogers.
Asumsi
dasar teori Rogers adalah:
- Kecenderungan
formatif
Segala hal di dunia
baik organik maupun non-organik tersusun dari hal-hal yang lebih kecil.
- Kecenderungan
aktualisasi
Kecenderungan setiap
makhluk hidup untuk bergerak menuju ke
kesempurnaan
atau pemenuhan potensial dirinya. Tiap individual mempunyai kekuatan yang kreatif untuk menyelesaikan
masalahnya.
Struktur
Kepribadian
Sejak awal Rogers mengamati bagaimana kepribadian
berubah dan berkembang, dan ada tiga konstruk yang menjadi dasar penting dalam
teorinya: Organisme, Medan fenomena, dan self.
1.
Organisme
Pengertian organisme mencakup tiga hal:
•
Mahkluk hidup
Organisme adalah
mahkluk lengkap dengan fungsi fisik dan psikologisnya dan merupakan tempat
semua pengalaman, potensi yang terdapat dalam kesadaran setiap saat, yakni
persepsi seseorang mengenai kejadian yang terjadi dalam diri dan dunia
eksternal
•
Realitas Subyektif
Organisme menganggap
dunia seperti yang dialami dan diamatinya. Realita adalah persepsi yang
sifatnya subyektif dan dapat membentuk tingkah laku.
•
Holisme
Organisme adalah satu
kesatuan sistem, sehingga perubahan dalam satu bagian akan berpengaruh pada
bagian lain. Setiap perubahan memiliki makna pribadi dan bertujuan, yaitu
tujuan mengaktualisasi, mempertahankan, dan mengembangkan diri.
2.
Medan Fenomena
Medan
fenomena adalah keseluruhan pengalaman, baik yang internal maupun eksternal,
baik disadari maupun tidak disadari. Medan fenomena ini merupakan seluruh
pengalaman pribadi seseorang sepanjang hidupnya di dunia, sebagaimana persepsi
subyektifnya.
3.
Diri
Konsep
diri mulai terbentuk mulai masa balita ketika potongan-potongan pengalaman
membentuk kepribadiannya dan menjadi semakin mawas diri akan identitas dirinya
begitu bayi mulai belajar apa yang terasa baik atau buruk, apa ia merasa nyaman
atau tidak. Jika struktur diri itu sudah terbentuk, maka aktualisasi diri mulai
terbentuk. Aktualisasi diri adalah kecenderungan untuk mengaktualisasikan sang
diri sebagai mana yang dirasakan dalam kesadaran. Sehingga kecenderungan
aktualisasi tersebut mengacu kepada pengalaman organik individual, sebagai
suatu kesatuan yang menyeluruh, akan kesadaran dan ketidak-sadaran, psikis dan
kognitif.
Menurut
Carl Rogers ada beberapa hal yang mempengaruhi Self, yaitu:
1.
Kesadaran
Tanpa adanya kesadaran, maka konsep diri dan diri
ideal tidak akan ada. Ada 3 tingkat kesadaran.
-
Pengalaman yang dirasakan dibawah ambang sadar akan ditolak atau disangkal. Pengalaman
yang dapat diaktualisasikan secara simbolis akan secara langsung diakui oleh
struktur diri.
-
Pengalaman yang dirasakan dalam bentuk
distorsi. Jika pengalaman yang dirasakan tidak sesuai dengan diri (self),
maka dibentuk kembali dan didistorsikan sehingga dapat diasimilasikan oleh
konsep diri.
2.
Kebutuhan
-
Pemeliharaan
Pemeliharaan tubuh
organismik dan pemuasannya akan makanan, air, udara, dan keamanan , sehingga
tubuh cenderung ingin untuk statis dan menolak untuk berkembang.
-
Peningkatan diri
Meskipun tubuh menolak
untuk berkembang, namun diri juga mempunyai kemampuan untuk belajar dan
berubah.
-
Penghargaan positif (positive
regard)
Begitu kesadaran
muncul, kebutuhan untuk dicintai, disukai, atau diterima oleh orang lain.
-
Penghargaan diri yang positif (positive
self-regard)
Berkembangannya
kebutuhan akan penghargaan diri (self-regard) sebagai hasil dari
pengalaman dengan kepuasan atau frustasi. Diri akan menghindari frustasi dengan
mencari kepuasan akan positive self-regard.
3.
Stagnasi Psikis
Stagnasi psikis terjadi bila :
-
Ada ketidak seimbangan antara konsep
diri dengan pengalaman yang dirasakan oleh diri organis.
-
Ketimpangan yang semakin besar antara
konsep diri dengan pengalaman organis membuat seseorang menjadi mudah terkena
serangan. Kurang akan kesadaran diri akan membuat seseorang berperilaku tidak logis,
bukan hanya untuk orang lain namun juga untuk dirinya.
-
Jika kesadaran diri tersebut hilang,
maka muncul kegelisahan tanpa sebab dan akan memuncak menjadi ancaman.
Untuk mencegah tidak konsistennya pengalaman organik
dengan konsep diri, maka perlu diadakan pertahanan diri dari kegelisahan dan
ancaman adalah penyangkalan dan distorsi terhadap pengalaman yang tidak
konsisten. Distorsi adalah salah interpretasi pengalaman dengan konsep diri,
sedangkan penyangkalan adalah penolakan terhadap pengalaman. Keduanya menjaga konsistensi
antara pengalaman dan konsep diri supaya berimbang.
Cara pertahanan adalah karakteristik untuk orang
normal dan neurotik. Jika seseorang gagal dalam menerapkan pertahanan tersebut,
maka individu akan menjadi tidak terkendali atau psikotik. Individu dipaksakan
untuk menerima keadaan yang tidak sesuai dengan konsep dirinya terus menerus
dan akhirnya konsep dirinya menjadi hancur. Perilaku tidak terkendali ini dapat
muncul mendadak atau dapat pula muncul bertahap.
Dinamika
Kepribadian
1.
Penerimaan Positif (Positive Regard) → Orang merasa puas menerima regard
positif, kemudian juga merasa puas dapat memberi regard positif kepada orang
lain.
2. Konsistensi dan Salingsuai Self (Self
Consistensy and Congruence) → organisme berfungsi untuk memelihara
konsistensi (keajegkan = keadaan tanpa konflik ) dari persepsi diri, dan
kongruen (salingsuai) antara persepsi self dengan pengalaman.
3.
Aktualisasi Diri (Self Actualization) → Freud memandang organisme
sebagai sistem energi, dan mengembangkan teori bagaimana energi psikik ditimbulkan,
ditransfer dan disimpan. Rogers memandang organisme terus menerus
bergerak maju. Tujuan tingkahlaku bukan untuk mereduksi tegangan enerji tetapi
mencapai aktualisasi diri yaitu kecenderungan dasar organisme untuk
aktualisasi: yakni kebutuhan pemeliharaan (maintenance) dan peningkatan
diri (enhancement).
4.
Aldous Huxley
Manusia memiliki banyak potensi yang selama ini banyak
terpendam dan disia-siakan. Pendidikan diharapkan mampu membantu manusia dalam mengembangkan
potensi-potensi tersebut, oleh karena itu kurikulum dalam proses pendidikan
harus berorientasi pada pengembangan potensi, dan ini melibatkan semua pihak,
seperti guru, murid maupun para pemerhati ataupun peneliti dan perencana
pendidikan.
Huxley (Roberts, 1975) menekankan adanya pendidikan
non-verbal yang juga harus diajarkan kepada siswa. Pendidikan non verbal bukan
berwujud pelajaran senam, sepak bola, bernyanyi ataupun menari, melainkan
hal-hal yang bersifat diluar materi pembelajaran, dengan tujuan menumbuhkan
kesadaran seseorang.
Proses pendidikan non verbal seyogyanya dimulai
sejak usia dini sampai tingkat tinggi. Betapapun, agar seseorang bisa mengetahui
makna hidup dalam kehidupan yang nyata, mereka harus membekali dirinya dengan
suatu kebijakan hidup, kreativitas dan mewujudkannya dengan langkah-langkah
yang bijaksana. Dengan cara ini seseorang akan mendapatkan kehidupan yang
nikmat dan penuh arti.
Berbekal pendidikan non verbal, seseorang akan
memiliki banyak strategi untuk lebih tenang dalam menapaki hidup karena
memiliki kemampuan untuk menghargai setiap pengalaman hidupnya dengan lebih
menarik. Akhirnya apabila setiap manusia memiliki kemampuan ini, akan menjadi
sumbangan yang berarti bagi kebudayaan dan moral kemanusiaan.
5.
David Mills dan Stanley Scher
Ilmu Pengetahuan Alam selama bertahun-tahun hanya
dibahas dan dipelajari secara kognitif semata, yakni sebagai akumulasi dari
fakta-fakta dan teori-teori. Padahal, bagaimanapun, praktek dari ilmu
pengetahuan selalu melibatkan elemen-elemen afektif yang meliputi adanya
kebutuhan akan pengetahuan, penggunaan intuisi dan imajinasi dalam usaha-usaha
kreatif, pengalaman yang menantang, frustasi, dan lain-lain. Berdasarkan
fenomena tersebut, David Mills dan Stanley Scher (Roberts, 1975) mengajukan
konsep pendidikan terpadu, yakni proses pendidikan yang mengikutsertakan afeksi
atau perasaan murid dalam belajar.
Metode afektif yang melibatkan perasaan telah bisaa
diterapkan pada murid-murid untuk pelajaran IPS, Bahasa dan Seni. Sebetulnya
ahli yang memulai merintis usaha ini adalah George Brown, namun kedua ahli ini
kemudia mencoba melakukan riset yang bertujuan
menemukan aplikasi yang lebih real dalam usaha tersebut. Penggunaan pendekatan
terpadu ini dilakukan dalam pembelajaran IPA, pendidikan bisnis dan bahkan
otomotif.
Pendekatan terpadu atau confluent
approach merupakan sintesa dari Psikologi Humanistik –khususnya Terapi
Gestalt- dan pendidikan, yang melibatkan integrasi elemen-elemen afektif dan
kognitif dalam proses belajar. Elemen kognitif menunjuk pada berpikir,
kemampuan verbal, logika, analisa, rasio dan cara-cara intelektual, sedangkan
elemen afektif menunjuk pada perasaan, caracara memahami yang melibatkan
gambaran visual-spasial, fantasi, persepsi keseluruhan, metaphor, intuisi, dan
lain-lain.
Tujuan umum dari pendekatan ini adalah
mengembangkan kesadaran murid-murid terhadap dirinya sendiri dan dunia
sekitarnya, serta meningkatkan kemampuan untuk menggunakan kesadaran ini dalam
menghadapi lingkungan dengan berbagai cara, menerima petunjuk-petunjuk internal
dan menerima tanggung jawab bagi setiap pilihan mereka. Fungsi guru dalam
pendekatan terpadu kepada guru, dengan tujuan akhir mengembangkan
responsibilitas murid untuk belajar sendiri. Guru hanya membantu mereka dengan
memberikan pilihan-pilihan yang masuk akal bagi pikiran mereka, dan jika perlu
guru bisa menolak memberikan bantuan untuk hal-hal yang bisa ditangani oleh
murid sendiri.
B)
Pandangan Serta Kritik
Humanism
Pandangan Humanisme
•
Behaviorisme : Bersifat mekanis ,
mementingkan masa lalu. Berbeda dengan aliran humanistic. Menurut aliran
humanistik : individu itu cenderung mempunyai kemampuan / keinginan untuk
berkembang dan percaya pada kodrat biologis dan ciri- lingungan tidak
menekankan pada tingkah laku yang nampak dan menggunakan metode obyektif
seperti halnya aliran behaviorisme.
•
Psikoanalisa : Aliran humanistik
tidak menyetujui sifat pesimisme, dalam aliran humanistik individu itu memiliki
sifat yang optimistik, dan apabila pada psikoanalisa freud menekankan pada masa
lalu,karena dalam behaviorisme percaya pada kodrati individu. Manusia
berkembang dengan potensi yang dimilikinya . tidak mengabaikan potensi seperti
aliran psikoanalisis.
Kritik pada
Teori Humanistik
Teori humanistik mempunyai pengaruh yang signifikan pada ilmu psikologi
dan budaya populer. Sekarang ini banyak psikolog yang menerima gagasan ini
ketika teori tersebut membahas tentang kepribadian, pengalaman subjektif manusi
mempunyai bobot yang lebih tinggi daripada relitas objektif. Psikolog
humanistik yang terfokus pada manusia sehat daripada manusia yang bermasalah,
juga telah menjadi suatu kontribusi yang bermanfaat.
Meskipun demikian, kritik dari teori humanistik tetap mempunyai beberapa
argumentasi:
• Teori humanistik terlalu
optimistik secara naif dan gagal untuk memberikan pendekatan pada sisi buruk
dari sifat alamiah manusia
• Teori humanistik, seperti
halnya teori psikodinamik, tidak bisa diuji dengan mudah
• Banyak konsep dalam
psikologi humanistik, seperti misalnya orang yang telah berhasil
mengaktualisasikan dirinya, ini masih buram dan subjektif. Beberapa kritisi
menyangkal bahwa konsep ini bisa saja mencerminkan nilai dan idealisme Maslow
sendiri.
• Psikologi humanistik
mengalami pembiasan terhadap nilai individualistis
·
Teori humanistik ini dikritik karena sukar digunakan dalam konteks yang
lebih praktis. Teori ini dianggap lebih dekat dengan dunia filsafat daripada dunia
pendidikan.
· Aplikasi teori
humanistik dalam pembelajaran, guru lebih mengarahkan siswa untuk berpikir
induktif, mementingkan pengalaman serta membutuhkan keterlibatan siswa secara
aktif dalam proses belajar.
C) Aplikasi Teori Humanistik Terhadap Pembelajaran Siswa
Belajar adalah menekankan pentingnya isi
dari proses belajar bersifat eklektik, tujuannya adalah memanusiakan manusia
atau mencapai aktualisasi diri. Aplikasi teori humanistik lebih menunjuk pada
ruh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang
diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator
bagi para siswa sedangkan guru memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna
belajar dalam kehidupan siswa. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada
siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran.
Siswa berperan sebagai pelaku utama (student center)
yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan siswa memahami
potensi diri, mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan
potensi diri yang bersifat negatif.
Tujuan pembelajaran lebih kepada proses belajarnya
daripada hasil belajar. Adapun proses yang umumnya dilalui adalah :
1.
Merumuskan tujuan belajar yang jelas
2.
Mengusahakan partisipasi aktif siswa
melalui kontrak belajar yang bersifat jelas , jujur dan positif.
3.
Mendorong siswa untuk mengembangkan
kesanggupan siswa untuk belajar atas inisiatif sendiri
4.
Mendorong siswa untuk peka berpikir kritis,
memaknai proses pembelajaran secara mandiri
5.
Siswa di dorong untuk bebas mengemukakan
pendapat, memilih pilihannya sendiri, melakukkan apa yang diinginkan dan
menanggung resiko dariperilaku yang ditunjukkan.
6.
Guru menerima siswa apa adanya, berusaha
memahami jalan pikiran siswa, tidak menilai secara normatif tetapi mendorong
siswa untuk bertanggungjawab atas segala resiko perbuatan atau proses
belajarnya.
7.
Memberikan kesempatan murid untuk maju
sesuai dengan kecepatannya
8.
Evaluasi diberikan secara individual
berdasarkan perolehan prestasi siswa
Pembelajaran berdasarkan teori humanistik ini cocok
untuk diterapkan pada materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan
kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena
sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang
bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjadi perubahan pola pikir,
perilaku dan sikap atas kemauan sendiri.
Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani,
tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara
bertanggungjawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan ,
norma , disiplin atau etika yang berlaku.
Beberapa perbandingan antara teori behaviorisme
dengan teori humanistik
yaitu
:
a.
Teori behaviorisme
•
Teori : Proses perubahan tingkah laku
sebagai akibat adanya interaksi antara stimulis dan respon.
•
Tujuan : adanya perubahan tingkah laku
pada peserta didik.
•
Metode : dibagi dalam bagian-bagian
kecil sampai kompleks.
Pengulangan dan latihan
digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan.berorientasi
pada hasil yang dicapai, tidak menggunakan hukuman.
•
Kekurangan : Sentral,bersikap
otoriter,komunikadi satu arah. Guru melatih dan menentukan apa yang harus
dipelajari siswa. Pasif,
perlu motivasi dari luar, dan sangat dipengarihi oleh penguatan yang diberikan
oleh guru,mendengarkan dan menghafal.
•
Penerapan : pada mata pelajaran yang
membutuhkan praktek dan pembicaraan yang mengandung unsur-unsur kecepatan,
spontanitas, kelenturan, refleks, daya tahan, dan sebagainya. Misal dalam: percakapan
bahasa asing, mengetik, menari, olagraga,dll.
•
Guru : guru tidak banyak memberikan
ceramah, tetapi instruksi singkat yang diikuti contoh-contoh baik dilakukan
sendiri maupun melalui simulasi
•
Murid : melakukan sendiri apa yang
menjadi instruksi dan melakukannya berulang-ulang sampai hasilnya baik.
•
Evaluasi : Didasarkan pada perilaku yang
dicapai sebagai hasil dari latihan yang dilakukan.
b.
Teori humanistic
•
Teori : belajar untuk memenusiakan
manusia.
• Tujuan : menunjuk pada ruh atau spirit selama
proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan.
•
Metode : mengusahakan partisipasi aktif
siswa melalui kontrak belajar yang bersifat jelas ,jujur , dan positif.
•
Kekurangan : terlalu memberi kebebasan
pada siswa.
•
Penerapan : materi-materi pembelajaran
yang bersifat pembentukan.
•
Guru : memberi motivasi,kesadaran
mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa.
•
Siswa : pelaku utama (student center)
yang memaknai poses pengalaman belajar sendiri
•
Evaluasi : diberikan secara individual
berdasarkan perolehan prestasi siswa.
Komentar
Posting Komentar