Konstruktivistik Dalam Pembelajaran
A.
Definisi
dan Tujuan Konstruktivisme
1.
Definisi Konstruktivisme
Kontruksi berarti bersifat membangun,
dalam konteks filsafat pendidikan, Konstruktivisme adalah suatu upaya membangun
tata susunan hidup yang
berbudaya modern. Konstruktivisme
merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran konstektual yaitu bahwa
pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui
konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah
seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan
diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui
pengalaman nyata.
Selain itu
konstruktivisme juga dimaknai sebagai suatu filsafat belajar yang dibangun atas
anggapan bahwa dengan memfreksikan pengalaman-pengalaman sendiri sedangkan
teori konstruktivisme adalah sebuah teori yang memberikan kebebasan terhadap
manusia yang ingin belajar atau mencari kebutuhannya dengan kemampuan untuk
menemukan keinginan atau kebutuhannya tersebut denga bantuan fasilitasi orang
lain. Menurut Von Glasersfeld (1989) mendefinisikan konstruktivisme radikal
selalu membentuk konsepsi pengetahuan. Ia melihat pengetahuan sebagai sesuatu
hal yang dengan aktif menerima yang apapun melalui pikiran sehat atau melalui komunikasi.
Hal itu secara aktif teruama dengan membangun pengetahuan. Kognisi adalah
adaptif dan membiarkan sesuatu untuk mengorganisir pengalaman dunia itu, bukan
untuk menemukan suatu tujuan kenyataan.
Von Glaserfeld kembali menambahkan bahwa siswa menginterpretasikan
dan membangun suatu kenyataan berdasarkan pada interaksi dan pengalamannya
dengan lingkungan. Bukannya berpikir tentang kebenaran dalam kaitannya dengan
suatu pencocokan dengan kenyataan, ia malahan memfokuskan pada
pemikiran-pemikiran kelangsungan hidup untuk konstruktivisme, konsep-konsep,
model-model, teori-teori, dan seterusnya adalah dapat berkembang terus jika
mereka dapat membuktikan cukup matang dalam konteks dengannya di mana mereka
telah ciptakan
Dari keterangan diatas dapat diketahui bahwa teori ini
memberikan keaktifan terhadap manusia untuk belajar menemukan sendiri
kompetensi, pengetahuan atau teknologi, dan hallain yang diperlukan guna
mengembangkan dirinya sendiri.
2.
Tujuan Konstruktivisme
Adapun tujuan dari pendekatan ini adalah
sebagai berikut:
·
Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung
jawab siswa itu sendiri.
·
Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengejukan pertanyaan
dan mencari sendiri pertanyaannya.
·
Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman
konsep secara lengkap.
·
Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang
mandiri.
·
Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.
B.
Prinsip-prinsip dan Karakteristik Pembelajaran
Konstruktivisme
1.
Prinsip-prinsip
Konstruktivisme
Konstruktivisme
adalah bangunan teori yang melandasi pendekatan belajar aktif (active
learning approach). Menurut konstruktivisme, belajar bukanlah transmisi
pengetahuan dari guru kepada siswa. Belajar adalah mengalami belajar yang
bermakna adalah mengalami apa yang dipelajari. Anaklah yang membangun makna
melalui mengalami. Siswalah yang membangun makna melalui mengalami.
Mahasiswalah yang membangun makna melalui mengalami.Melalui aktivitas
mengalami, anak, siswa atau mahasiswa melakukan proses asimilasi dengan kerangka
(skemata) pengetahuan yang telah dimiliki dalam dunia fisik, sosial, dan
budayanya dan melakukan proses akomodasi terhadap skemata tatkala ia terpapar
atau mengalami sesuatu yang baru atau lain. Semuanya ini terjadi dalam proses
mencari equilibrium (keseimbangan) dan untuk mencapai equilibrium,
siapa pun yang belajar melakukan proses asimilasi dan akomodasi secara
terus-menerus. Proses asimilasi dan akomodasi tidak terjadi secara berurutan
tetapi lebih seperti zig-zag, ke sana ke mari sesuai dengan perkembangan
pengetahuannya (Belen, S: 2010)
Menurut
Brooks & Brooks (2001) bahwa dalam pandangan konstruktivis, guru bukan
sekedar memberi informasi ke pikiran anak, akan tetapi guru harus mendorong
anak untuk mengeksplorasi dunia mereka, menemukan pengetahuan, merenung dan
berpikir secara kritis.
Secara
garis besar, prinsip-prinsip konstruktivisme yang diterapkan dalam belajar
mengajar adalah :
1. Pengetahuan
dibangun oleh siswa sendiri
2. Pengetahuan
tidak dapat dipindahkan dari guru kemurid, kecuali hanya dengan keaktifan murid
sendiri untuk menalar
3. Murid
aktif megkontruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep
ilmiah
4. Guru
sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi berjalan
lancar
5. Menghadapi
masalah yang relevan dengan siswa
6. Struktur
pembalajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan
7. Mencari
dan menilai pendapat siswa
8. Menyesuaikan
kurikulum untuk menanggapi anggapan siswa.
Dari
semua itu hanya ada satu prinsip yang paling penting adalah guru tidak boleh
hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa . siswa harus membangun
pengetahuan didalam benaknya sendiri. Seorangguru dapat membantu proses ini
dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan
sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan dengan mengajak siswaagar
menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru
dapat memberikan tangga kepada siswa yang mana tangga itu nantinya dimaksudkan
dapat membantu mereka mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi , tetapi
harus diupayakan agar siswa itu sendiri yang memanjatnya.
2.
Karaktersitik Pembelajaran
Konstruktivisme
Pendekatan konstruktivisme merupakan pembelajaran
yang lebih mengutamakan pengalaman langsung dan keterlibatan siswa dalam
kegiatan pembelajaran
maka karena itu dapat dilihat ciri-ciri
pendekatan konstruktivisme adalah sebagai berikut :
1. Dengan adanya pendekatan
konstruktivisme, pengembangan pengetahuan bagi peserta didik dapat dilakukan
oleh siswa itu sendiri melalui kegiatan penelitian atau pengamatan langsung
sehingga siswa dapat menyalurkan ide-ide baru sesuai dengan pengalaman dengan
menemukan fakta yang sesuai dengan kajian teori.
2. Antara pengetahuan-pengetahuan yang
ada harus ada keterkaitan dengan pengalaman yang ada dalam diri siswa.
3. Setiap siswa mempunyai peranan
penting dalam menentukan apa yang mereka pelajari.
4. Peran guru hanya sebagai pembimbing
dengan menyediakan materi atau konsep apa yang akan dipelajari serta memberikan
peluang kepada siswa untuk menganalisis sesuai dengan materi yang dipelajari
C. Perspektif dalam Konstruktivisme
Secara
umum yang disebut konstruktivisme menekankan kontribusi seseorang pembelajar
dalam memberikan arti, serta belajar sesuatu melalui aktivitas individu dan
sosial. Tidak ada satupun teori belajar tentang konstruktivisme, namun terdapat
beberapa pendekatan konstruktivis, misalnya pendekatan yang khusus dalam
pendidikan matematik dan sains. Beberapa pemikir konstruktivisme seperti
Vigotsky menekankan berbagi dan konstruksi sosial dalam pembentukan pengetahuan
(konstruktivisme sosial) sedangkan yang lain seperti Piaget melihat konstruksi
individu lah yang utama (konstruktivisme individu).
1.
Konstruktivisme Sosial Menurut Vigotsky
Pengetahuan dibentuk secara sosial, yaitu terhadap apa yang
masing-masing partisipan kontribusikan dan buat secara bersama-sama. Sehingga
perkembangan pengetahuan yang dihasilkan akan berbeda-beda dalam konteks budaya
yang berbeda. Interaksi sosial, alat-alat budaya, dan aktivitasnya membentuk
perkembangan dan kemampuan belajar individual. Vygotsky melihat bahwa alat-alat
budaya (termasuk di dalamnya kertas, mesin cetak, komputer dll) dan alat-alat
simbolik (seperti sistem angka, peta, karya seni, bahasa, serta kode dan
lambang) memainkan peran penting dalam perkembangan kognitif. Sistem angka
romawi misalnya punya keterbatasan untuk operasi perhitungan; berbeda dengan
sistem angka arab yang biasa kita gunakan yang mempunyai lambang nol, bisa
dibentuk pecahan, nilai positif dan negatif, menyatakan bilangan yang tak
terhingga besarnya dan lainnya. Sistem angka yang dipakai adalah alat budaya
yang mendukung berpikir, belajar dan perkembangan kognitif. System simbol ini
diberikan dari orang dewasa ke anak melalui interaksi formal ataupun informal
dan pengajaran.
Vygotsky
menekankan bahwa semua proses mental tingkat tinggi, seperti berpikir dan
pemecahan masalah dimediasi dengan alat-alat psikologi seperti bahasa, lambang
dan simbol. Orang dewasa mengajarkan alat-alat ini ke anak dalam kegiatan
sehari-hari dan si anak menginternalisasi hal tersebut. Sehingga alat
psikologis ini dapat membantu siswa meningkatkan perkembangan mental dan
berpikirnya. Pada saat anak berinteraksi dengan orang tua atau teman yang lebih
mampu, mereka saling bertukar ide dan cara berpikir tentang representasi dan
konsep. Sehingga pengetahuan, ide, sikap dan sistem nilai yang dimiliki anak
berkembang seperti halnya cara yang dia pelajari dari lingkungannya (Sumintono, B: 2008)
2. Konstruktivisme Individu menurut
Jean Piaget
Para
psikolog konstruktivis yang tertarik dengan pengetahuan individu, kepercayaan,
konsep diri atau identitas adalah mereka yang biasa disebut konstruktivis
individual. Riset mereka berusaha mengungkap sisi dalam psikologi manusia dan
bagaimana seseorang membentuk struktur emosional atau kognitif dan strateginya.
Piaget misalnya mengusulkan tahapan kognitif yang dilakukan oleh semua manusia.
Berpikir pada tiap langkah memasukkan tahapan sebelumnya sehingga makin
terorganisir dan adaptif dan makin tidak terikat pada kejadian kongkrit. Piaget
menjelaskan bagaimana tiap individu mengembangkan schema, yaitu suatu
sistem organisasi aksi atau pola pikir yang membuat kita secara mental mencerminkan
“berpikir mengenainya”. Dua proses diaplikasikan dalam hal ini yaitu asimilasi
dan akomodasi. Melalui asimilasi kita berusaha memahami hal yang baru dengan
mengaplikasikan schema yang ada; sedangkan akomodasi terjadi ketika
seseorang harus merubah pola berpikirnya untuk merespon terhadap situasi yang
baru. Seseorang melakukan adaptasi dalam situasi yang makin kompleks ini dengan
menggunakan schema yang masih bisa dianggap layak (asimilasi) atau
dengan melakukan perubahan dan menambahkan pada schema-nya sesuatu yang
baru karena memang diperlukan (akomodasi) (Sumintono, B: 2008).
Penjelasan
di atas menunjukkan penekanan Piaget terhadap pemahaman yang dibentuk oleh
seseorang, sesuatu yang berhubungan dengan logika dan konstruksi pengetahuan
universal yang tidak dapat dipelajari secara langsung dari lingkungan.
Pengetahuan seperti itu berasal dari hasil refleksi dan koordinasi kemampuan
kognitif dan berpikir serta bukan berasal dari pemetaan realitas lingkungan
eksternalnya.
Hal
yang paling mendasar dari penemuan Piaget ini adalah belajar pada siswa tidak
harus terjadi hanya karena seorang guru mengajarkan sesuatu padanya, Piaget
percaya bahwa belajar terjadi karena siswa memang mengkonstruksi pengetahuan
secara aktif darinya, dan ini diperkuat bila siswa mempunyai kontrol dan
pilihan tentang hal yang dipelajari. Hal ini tidaklah meniadakan faktor guru
dalam proses pembelajaran, justru sebaliknya lah yang terjadi. Pengajaran oleh
guru yang mengajak siswa untuk bereksplorasi, melakukan manipulasi, baik dalam
bentuk fisik atau secara simbolik, bertanya dan mencari jawaban, membandingkan
jawaban dari siswa lain akan lebih membantu siswa dalam belajar dan memahami
sesuatu.
D. Penerapan Konstruktivisme dalam Pembelajaran
Sebagaimana
sudah dinyatakan, tidak setiap pengetahuan dapat dipindahkan dengan mudah dari
otak seorang guru ke dalam otak murid-muridnya. Hanya dengan usaha keras tanpa
mengenal lelah dari siswa sendirilah suatu pengetahuan dapat dibangun dan
diorganisasikan ke dalam kerangka kognitif si siswa tadi. Suatu pengetahuan
yang akan disajikan guru dapat diibaratkan dengan makanan yang akan disajikan
seorang koki. Makanan itu tidak akan pernah dicerna dan pengetahuan tidak akan
pernah dibangun ke dalam kerangka kognitif mereka jika mereka sendiri sama
sekali tidak tertarik untuk mencerna dan mempelajarinya. Agar suatu proses
pembelajaran dapat berhasil dengan gemilang, para guru harus dapat meyakinkan
dirinya sendiri bahwa setiap siswanya dalam keadaan aktif belajar. Untuk itu,
ia harus menegur dan memotivasi para siswa yang kurang bergairah, membimbing
dan membantu para siswa yang mengalami kesulitan dengan penuh kasih sayang,
serta memberi tugas yang lebih menantang bagi para siswa yang lebih cepat.
Berdasarkan
teori J. Peaget dan Vygotsky yang telah
dikemukakan di atas maka pembelajaran dapat dirancang/didesain model
pembelajaran konstruktivis di kelas sebagai berikut:
1.
Identifikasi prior knowledge dan miskonsepsi. Identifikasi awal terhadap gagasan
intuitif yang mereka miliki terhadap lingkungannya dijaring untuk mengetahui
kemungkinan-kemungkinan akan munculnya miskonsepsi yang menghinggapi struktur
kognitif siswa. Identifikasi ini dilakukan dengan tes awal, interview
2.
Penyusunan program pembelajaran. Program
pembelajaran dijabarkan dalam bentuk satuan pelajaran.
3.
Orientasi dan elicitasi. Situasi pembelajaran yang kondusif
dan mengasyikkan sangatlah perlu diciptakan pada awal-awal pembelajaran untuk
membangkitkan minat mereka terhadap topic yang akan dibahas. Siswa dituntun
agar mereka mau mengemukakan gagasan intuitifnya sebanyak mungkin tentang
gejala-gejala fisika yang mereka amati dalam lingkungan hidupnya sehari-hari.
Oengungkapan gagasan tersebut dapat memalui diskusi, menulis, ilustrasi gambar
dan sebagainya. Gagasan-gagasan tersebut kemudian dipertimbangkan bersama.
Suasana pembelajaran dibuat santai dan tidak menakutkan agar siswa tidak
khawatir dicemooh dan ditertawakan bila gagasan-gagasannya salah. Guru harus
menahan diri untuk tidak menghakiminya. Kebenaran akan gagasan siswa akan
terjawab dan terungkap dengan sendirinya melalui penalarannya dalam tahap
konflik kognitif.
4.
Refleksi.
Dalam tahap ini, berbagai macam gagasan-gagasan yang bersifat miskonsepsi yang
muncul pada tahap orientasi dan elicitasi direflesikan dengan miskonsepsi yang
telah dijaring pada tahap awal. Miskonsepsi ini diklasifikasi berdasarkan
tingkat kesalahan dan kekonsistenannya untuk memudahkan
merestrukturisasikannya.
5.
Resrtukturisasi
Ide. (a)
tantangan, siswa diberikan pertanyaan-pertanyaan tentang gejala-gejala yang
kemudian dapat diperagakan atau diselidiki dalam praktikum. Mereka diminta
untuk meramalkan hasil percobaan dan memberikan alas an untuk mendukung ramalannya itu. (b) konflik kognitif
dan diskusi kelas. Siswa akan daapt melihat sendiri apakah ramalan mereka benar
atau salah. Mereka didorong untuk menguji keyakinan dengan melakukan percobaan.
Bila ramalan mereka meleset, mereka akan mengalami konflik kognitif dan mulai
tidak puas dengan gagasan mereka. Kemudian mereka didorong untuk memikirkan
penjelasan paling sederhana yang dapat menerangkan sebanyak mungkin gejala yang
telah mereka lihat. Usaha untuk mencari penjelasan ini dilakukan dengan proses
konfrontasi melalui diskusi dengan teman atau guru yang pada kapasistasnya
sebagai fasilitator dan mediator. (c) membangun ulang kerangka konseptual.
Siswa dituntun untuk menemukan sendiri bahwa konsep-konsep yang baru itu
memiliki konsistensi internal. Menunjukkan bahwa konsep ilmiah yang baru itu
memiliki keunggulan dari gagasan yang lama.
6.
Aplikasi.
Menyakinkan siswa akan manfaat untuk beralih konsepsi dari miskonsepsi menuju
konsepsi ilmiah. Menganjurkan mereka untuk menerapkan konsep ilmiahnya tersebut
dalam berbagai macam situasi untuk memecahkan masalah yang instruktif dan
kemudia menguji penyelesaian secara empiris. Mereka akan mampu membandingkan
secara eksplisit miskonsepsi mereka dengan penjelasa secara keilmuan.
7. Review. Dilakukan untuk
meninjau keberhasilan strategi pembelajaran yang telah berlangsung dalam upaya
mereduksi miskonsepsi yang muncul pada awal pembelajaran. Revisi terhadap
strategi pembelajaran dilakukan bila miskonsepsi yang muncul kembali bersifat
sangar resisten. Hal ini penting dilakukan agar miskonsepsi yang resisten
tersebut tidak selamanya menghinggapi struktur kognitif, yang pada akhirnya
akan bermuara pada kesulitan belajar dan rendahnya prestasi siswa bersangkutan.
Komentar
Posting Komentar