Teori Perkembangan Moral Serta Aplikasinya Dalam Ilmu Pengetahuan Alam



A.                DEFINISI MORAL SERTA TAHAPAN PERKEMBANGAN MORAL YANG DIALAMI OLEH MANUSIA
1.                  Definisi Moral
Moral memiliki arti yang begitu luas, sehingga banyak pula penafsiran yang berusaha menjelaskan makna moral secara lugas hingga begitu definitif. Moral berasal dari kata latin mores, yang berarti tata cara, kebiasaan, dan adat. Perilaku moral dikendalikan konsep-konsep moral. Peraturan perilaku telah menjadi kebiasaan bagi anggota suatu budaya dan yang menentukan pola perilaku yang diharapkan dari seluruh anggota kelompok. Perilaku tak bermoral ialah perilaku yang tidak sesuai dengan harapan sosial. Perilaku demikian tidak disebabkan ketidakacuhan akan harapan sosial melainkan ketidaksetujuan dengan standar sosial atau kurang adanya perasaan wajib menyesuaikan diri. Perilaku bermoral atau tidak bermoral lebih disebabkan ketidakacuhan terhadap harapan kelompok sosial daripada pelanggaran sengaja terhadap standar kelompok. Beberapa diantara perilaku anak kecil lebih bersifat bermoral daripada tidak bermoral (Hurlock E.B, 1978).
Menurut Suciati (2006) moral adalah istiadat, kebiasaan, tata cara kehidupan yang berkaitan dengan aturan dan konvensi tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam berinteraksi dengan orang lain. Berkaitan juga dengan kemampuan seseorang untuk membedakan antara perbuatan yang benar dan yang salah. Dengan demikian, moral juga melandasi dan mengendalikan seseorang dalam bersikap dan bertingkahlaku. Perilaku moral berarti perilaku yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial. Jadi, suatu tingkahlaku dikatakan bermoral apabila tingkahlaku itu sesuai dengan nilai-nilai moral yang berlaku dalam kelompok sosial dimana anak itu hidup.
Secara singkat moral adalah ajaran tentang baik buruk suatu perbuatan dan kelakuan akhlak, kewajiban, dan sebagainya. Dalam moral diatur segala perbuatan yang dinilai baik dan perlu dilakukan, serta sesuatu perbuatan yang dinilai tidak baik dan perlu dihindari. Moral berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk membedakan antara perbuatan yang benar dan yang salah. Dengan demikian, moral juga mendasari dan mengendalikan seseorang dalam bersikap dan bertingkahlaku. Moral juga merupakan sifat (hal-hal) yang penting dan berguna bagi kemanusiaan, atau tradisional yang dapat mendorong pembangunan yang perlu dikembangkan dalam kondisi mental yang dapat membuat seseorang tetap berani, bersemangat, berdisiplin, atau dengan isi hati sebagaimana tertuang dalam perbuatan. (Soetjiati, 1996).
Penjelasan makna moral yang begitu beragam memiliki persamaan dimana moral merupakan istiadat, kebiasaan, tata cara kehidupan yang berlaku di lingkungan masyarakat untuk mampu berinteraksi dengan sesamanya, peraturan perilaku telah menjadi kebiasaan bagi anggota suatu budaya.
2.                  Tahapan Perkembangan Moral Yang Dialami Oleh Manusia
Tahapan perkembangan moral juga memiliki beragam pendapat. Berikut akan dijelaskan berbagai teori perkembangan moral yang memiliki kaitan khusus dengan pembentukan pribadi manusia, dalam perkembangan moral berikut akan ditemukan beragam pelafalan perkembangan moral dalam berbagai kata, namun memiliki makna atau pengertian yang sama yaitu perkembangan moral.
2.1     Perkembangan Psikoseksual.
Teori psikoanalisa pertama kali dikembangkan oleh Sigmund Freud, salah seorang Pendekar Teori Kepribadian. Di dalam mengembangkan pendekatannya terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan kepribadian manusia, Freud menandaskan bahwa karakter dan moralitas seseorang akan lebih tampak dengan jelas pada saat ia bergaul dan berhubungan dengan orang lain.
Freud yang mengemukakan tahap-tahap perkembangan moralitas yaitu :
a.       The Oral Stage. Tahap ini berkembang di sekitar usia 1 tahun. Dalam tahap ini anak lebih berorientasi kepada pemuasan kebutuhan semata-mata.
b.      The Anal Stage. Tahap ini berkembang di sekitar usia 2 sampai 3 tahun yang umumnya berpusat pada pengenalan cara-cara bagaimana mengatur kebersihan, atau toilet training.
c.       The Phallic Stage. Tahap ini berkembang di sekitar usia 4 sampai 6 tahun, dalam tahap mana anak lebih merespon terhadap daya tarik seks yang berbeda, serta mulai timbul sikap cemburu terhadap orang tua yang mempunyai organ seks yang sama (Oedipus Complex).
d.      Latency Period. Di sekitar usia 6 sampai 14 tahun anak-anak mulai memasuki periode yang disebut Latency Period atau periode diam, tidak bereaksi, atau tidak bergerak.
e.       The Genital Stage. Mulai usia 14 tahun anak-anak akan memasuki satu tahap yang disebut The Genital Stage, suatu tahap dimana rasa cinta terhadap orang lain mulai berkembang.

2.2     Perkembangan Psikososial Erikson : Sebuah Revisi dan Perluasan Pentahapan Freud.
Mengenai tahap-tahap perkembangan psikososial ini, Erikson mengemukakan adanya delapan tahap perkembangan sebagai berikut ini :
a.       Trust vs Mistrust. Tahap pertama dari Erikson ini perlu memperoleh perhatian khusus, oleh karena ia berkaitan dengan apa yang patut dipercaya (trust) dan sebaliknya masalah-masalah apa yang tidak patut untuk dipercaya (mistrust).
b.      Autonomy vs Doubt. Dalam hubungan ini Erikson mengidealisasikan pertumbuhan sifat-sifat positif (autonomy) maupun yang negatif (doubt) secara bersama-sama.
c.       Initiative vs Guilt. Erikson mengungkapkan, bahwa konflik yang paling menonjol dalam tahap ketiga ini adalah berkembangnya initiative terhadap satu sasaran atau tujuan, dan kemungkinan tumbuhnya guilt dalam upayanya untuk mencapai sasaran atau tujuan yang lain.
d.      Industry vs Inferiority. Tahap keempat adalah merupakan satu tahap dimana anak-anak mulai mampu menggunakan cara berpikir deduktif, di samping kemauannya untuk belajar mematuhi aturan-aturan.
e.       Identity vs Role Confusion. Menurut Freud, proses identitas diri akan tumbuh dalam diri seorang anak pada saat mereka sudah memasuki tahap Phallic, dimana pada saat anak berusia 4 sampai 6 tahun akan memperoleh kepuasan atau memperoleh kekuasaan dengan jalan mengimajinasikan hubungan yang erat antara dirinya dengan orang lain ataupun orang tua yang mempunyai kelamin sejenis.
f.       Intimacy vs Isolation. Erikson melihat intimidasi sebagai suatu kemampuan seseorang untuk berlaku baik dan bergaul secara harmonis dengan orang lain. Sementara itu isolasi adalah merupakan kebalikannya, dimana seseorang tidak lagi mampu berlaku baik dan bergaul secara harmonis dengan orang lain.
g.      Generativity vs Self-Absorption. Dalam hubungan ini Erikson memperkenalkan istilah generativity yang dipertentangkan dengan self-absorption. Yang pertama, menyangkut perluasan wawasan seseorang mengenai kesejahteraan orang lain atau masyarakatnya, sementara yang kedua berkaitan dengan wawasan seseorang mengenai kebutuhan dirinya sendiri.
h.      Integrity vs Despair. Seseorang dikatakan sudah memiliki integritas apabila ia telah mampu menyikapi kehidupannya sebagai suatu kenyataan yang sangat berguna dan berfaedah. Sebaliknya, ada pula seseorang yang menganggap kehidupannya sebagai suatu hal yang sia-sia dan tanpa harapan (despair).

2.3     Piaget : Dua Tahap Perkembangan Moral
Dalam teorinya mengeni perkembangan mental, Piaget menegaskan bahwa anak-anak akan berkembang melalui tahapan pertumbuhan dalam penalarannya yang tidak jarang masih abstrak sifatnya. Dari pada itu Piaget sangat berkeyakinan bahwa semua anak akan berkembang melalui urutan yang sama tanpa harus tergantung kepada tingkat pengalaman, kondisi keluarganya, ataupun kebudayaannya. Perkembangan mental dari tahap yang satu ke tahap yang lebih tinggi boleh jadi merupakan satu kondisi yang diperlukan, kendatipun tidak selalu, untuk mengubah atau meningkatkan tahap perkembangan moralnya.
Akan halnya perkembangan moral itu sendiri, Piaget mengemukakan adanya dua tahap perkembangan moral. Yang pertama disebut tahap Heteronomous atau tahap Realisme Moral, dalam tahap mana seorang anak cenderung menerima begitu saja aturan-aturan yang diberikan oleh orang-orang yang berkompeten untuk itu. Yang kedua disebut tahap Autonomous Morality atau Independensi Moral, dalam tahap mana seorang anak akan memandang perlu untuk memodifikasi aturan-aturan untuk disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada.

2.4     Kohlberg : Perluasan Pendekatan Kognitf Piaget
Kohlberg mengemukakan 3 tingkat perkembangan moral yang dilewati seorang anak, meliputi :
a.      Tingkat Prekonvensional.
Pada tingkat yang pertama ini, seorang anak sangat responsif terhadap norma-norma budaya ataupun label-label kultural lainnya.
b.      Tingkat Konvensional.
Pada tingkat perkembangan moral yang disebut konvensional ini, upaya memenuhi harapan-harapan dari keluarga, kelompok, ataupun masyarakat-bangsanya dianggap sebagai satu hal yang terpuji.
c.       Tingkat Poskonvensional atau Prinsipel.
Pada tingkat ketiga ini, sudah ada usaha yang jelas dalam diri seorang anak untuk menentukan nilai-nilai dan prinsip-prinsip moral yang memiliki validitas yang diwujudkan tanpa harus mengkaitkannya dengan otoritas kelompok atau pribadi-pribadi yang mendukung prinsip-prinsip tersebut, sekaligus terlepas dari identifikasi seseorang terhadap kelompok.

Gambar 2.1 Tingkatan Perkembangan Moral Kohlberg
2.5     Soetjiati : perkembangan moral pada masa remaja
Juga menjelaskan tahapan perkembangan moral yang memfokuskan diri pada tahapan perkembangan moralitas selama remaja. Tahapan perkembangan moral selama remaja adalah sebagai berikut:
v  Pandangan moral individu makin lama makin menjadi lebih abstrak dan kurang konkrit.
v  Keyakinan moral lebih berpusat pada apa yang benar, dan kurang pada apa yang salah. Keadilan muncul sebagai kekuatan moral yang dominan.
v  Penilaian moral menjadi lebih kognitif, ini mendorong remaja lebih berani menganalisis kode social dan kode pribadi dari pada masa kanak-kanak dan berani mengambil keputusan terhadap berbagai masalah moral yang dihadapinya.
v  Penilaian moral kurang menjadi egosentris

B.                 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN MORAL
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan moral begitu luas, beberapa faktor-faktor yang diyakini mempengaruhi perkembangan moral menurut Hurlook (1991) yang mempengaruhi perkembangan moral, yaitu:
1.      Pelaksanaan formal (pendidikan)
Pada masa remaja, laki-laki dan perempuan telah mencapai apa yang dikatakan Piaget sebagai tahap pelaksanaan formal dalam kemampuan kognitif. Sekarang remaja mampu mempertimbangkan semua kemungkinan untuk menyelesaikan sesuatu masalah dan mempertanggung jawabkannya berdasarkan suatu hipotesis. Jadi ia dapat memandang masalahnya dari beberapa sudut pandang dan menyelesaikan dengan mengambil banyak factor sebagai banyak pertimbangan.
2.      Kelenturan dalam keyakinan moral
Menurut Kohlberg dalam Hurlock (1991), individu harus yakin bahwa ada kelenturan dalam keyakinan moral sehingga dimungkinkan adanya perbaikan dan perubahan standar moral apabila hal ini menguntungkan anggota-anggota kelompok secara keseluruhan.
3.      Rasa hormat terhadap orang lain
individu menyesuaikan diri dengan standar sosial dan ideal dan diinternalisasi lebih untuk menghindari hukuman terhadap diri sendiri dari sensor sosial. Dalam tahap ini, moralitas didasarkan pada rasa hormat kepada orang-orang lain dan bukan pada keiinginan yang bersifat pribadi.
4.      bimbingan tentang bagaimana membuat konsep kusus berlaku umum.
Dengan percaya saja bahwa remaja telah mempelajari prinsip pokok tentang benar dan salah, orang tua dan guru jarang menekankan dalam usaha membina remaja untuk melihat hubungan antara prinsip khusus yang dipelajari sebelumnya dengan prinsip umum yang penting untuk mengendalikan perilaku dalam kehidupan orang dewasa. Hanya dalam bidang baru dalam perilaku, seperti hubungan dengan lawan jenis, orang dewasa orang dewasa merasa perlu memberikan pendidikan moral lebih lanjut.
5.      jenis disiplin yang diterapkan di rumah dan di sekolah.
 orang tua dan guru seringkali mengasumsikan bahwa remaja mengetahui apa yang benar. Maka penekanan kedisiplinan hanya terletak pada pemberian hukuman pada yang salah yang dianggap sengaja dilakukan. Penjelasan mengenai salah tidaknya suatu perilaku jarang ditekankan dan bahkan jarang member ganjaran bagi remaja yang berperilaku benar.
6.      Karakteristik diri
Karakteristik diri yang bisa menopang tingkah laku moral manusia, di antaranya adalah : intelegensi, kemampuan menahan diri (kepuasan), kemampuan memusatkan perhatian, kemampuan mengendalikan fantasi-fantasinya yang tidak akan mungkin diterima masyarakatnya, dan kadar penghargaan terhadap dirinya sendiri.

Jadi, secara singkat prinsip-prinsip perkembangan dalam pertimbangan moral dinyatakan dalam beberapa asumsi dan sifat menurut teori perkembangan. Tujuan pendidikan dalam pertimbangan moral adalah untuk mengusahakan perkembangan yang optimal bagi setiap individu. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan moral di atas secara ringkas dapat digolongkan dalam faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal meliputi: Pelaksanaan formal (pendidikan), bimbingan tentang bagaimana membuat konsep kusus berlaku umum dan jenis disiplin yang diterapkan di rumah dan di sekolah. Sedangkan faktor internal meliputi: kelenturan dalam keyakinan moral, rasa hormat terhadap orang lain, dan karakteristik diri.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan moral tentunya memiliki beberapa kekurangan atau ambiguisitas dalam hal penggolongannya, namun yang jelas hal penting yang mempengaruhi perkembangan moral adalah lingkungan sosial, perkembangan kognitif, empati dan konflik kognitif. Lebih jauh dari pada itu, pendidikan tampak jelas berperan penting dalam penelitian yang menunjukkan bahwa anak-anak yang selama bertahun-tahun tidak berkembang rupa-rupanya akan terhenti pada tahap mereka, dikarenakan faktor pendidikan yang tidak berjalan secara maksimal.
Menurut teori pendidikan suatu pendekatan pendidikan yang berhasil dalam menangani perkembangan moral tidak akan mengutamakan strategi-strategi tradisional, yaitu memberikan contoh, nasehat, ganjaran dan hukuman, melainkan didasarkan atas implikasi-implikasi dari sifat-sifat dalam teori perkembangan seperti berikut ini :
1.      Perkembangan terjadi langkah demi langkah, artinya, tahap-tahap itu bersifat invarian.
2.      Perkembangan dapat berhenti pada tahap manapun. Peranan pendidik adalah menciptakan kondisi yang memberikan stimulasi supaya setiap individu dapat berkembang secara maksimum, terutama dengan menstimulasikan tingkatan-tingkatan penalaran yang lebih tinggi.
3.      Seorang individu dapat tertarik oleh penalaran dari suatu tahap di atas tahap yang secara dominan mewarnainya.
4.      Perkembangan tidak ditentukan oleh umur.
5.      Perkembangan kognitif perlu, tetapi tidak merupakan kondisi yang mencukupi untuk perkembangan moral. Kemampuan berpikir abstrak adalah esensial untuk mendapatkan alternatif-alternatif dalam penalaran moral dan esensial untuk menyusun prioritas dalam bermacam-macam nilai.
6.      Empati juga perlu, tetapi bukan kondisi yang mencukupi untuk perkembangan moral. Justru dengan empati inilah orang memperkembangkan suatu pengertian mengenai apakah masyarakat itu dan mulai menilai tindakan sebagai benar atau salah atas dasar rasa hormat timbal balik.


C.                APLIKASI MORAL DALAM ILMU PENGETAHUAN ALAM
Menurut Sutomo (2009) moral memiliki keterkaitan dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan Alam. Perkembangan Ilmu Pengetahuan Alam yang semakin pesat memiliki dua wajah yang berkebalikan. Satu sisi memiliki tujuan positif yaitu untuk kesejahteraan manusia, namun sisi negatif lainnya adalah IPA tanpa dilandasi moral akan menghilangkan tujuan utama tersebut atau bahkan menghilangkan eksistensi manusia. Jadi jelaslah bahwa yang mengendalikan IPA adalah pelaksana IPA itu sendiri yang diharapkan memiliki komotmen tinggi dalam mengaplikasikan moral dan etika dalam setiap tingkah-lakunya.

Gambar 2.2 Peran Moral dalam Wajah IPA
Sebagai gambaran, tidak dapat dipungkiri sejak James Watt (1736-1819) menemukan mesin uap (yang praktis), maka dunia permesinan terus berkembang, karena mesin uap tersebut menjadi dasar munculnya mesin-mesin yang lain. Akibatnya terjadilah masa kejayaan dengan revolusi industry yang berkelanjutan, sehingga kesejahteraan terjadi dimana-mana. Karena sifat ilmu kealaman yang bersifat dinamis selalu berkembang, maka banyak orang menaruh harapan kepada IPA agar kedepan semakin banyak temuan baru yang tentunya semakin meningkatkan kesejahteraan bagi umat manusia.
Berkebalikan dengan kesuksesan IPA dalam hal mensejahterakan umat manusia, bom atom di Heroshima dan Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus tahun 1945, yang menelan korban meninggal sebanyak 266.575 orang, membuat wajah ilmu kealaman tercoreng sebagai ilmu pemusnah missal dan penghancur. Jika dikaji lebih dalam maka kesalahan bukan terletak pada ilmu kealaman, namun pada oknum pelaksana ilmu kealaman tersebut yang bersifat immoral.
Moral perlu mendapatkan perhatian yang khusus dari para pelaku ilmu kealaman dan manusia secara umum. Moral dan IPA seharusnya tidak bisa dipisahkan demi cita-cita kemanusiaan yang kuhur, yaitu kesejahteraan tetap terjaga. Keterkaitan antara moral dan IPA sebenarnya telah diisyaratkan oleh Albert Einstein (1879-1955) yang pada tahun 1915 menemukan teori relativitas, bahwa “science without religion is blind-religion without science is limp”, ilmu kealaman tanpa agama adalah buta dan agama tanpa ilmu kealaman adalah lumpun. Hal itu menunjukkan bahwa keterkaitan antara IPA dan moral begitu jelas terlihat, IPA tidak bebas nilai dan tidak lepas kendali, tetapi memiliki tanggung jawab moral terhadap Tuhan pencipta alam dan terhadap kemanusiaan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Contoh Judul-judul Penelitian Pendidikan Sains

Teori Humanistik, Kritik, dan Penerapannya dalam Pembelajaran

Ukuran Sel